Tokoh

Mbah Nuh Pageraji: Pakar Al-Qur’an dan Sosok Pejuang Pendidikan

50
×

Mbah Nuh Pageraji: Pakar Al-Qur’an dan Sosok Pejuang Pendidikan

Sebarkan artikel ini
Mbah Nuh Pageraji: Pakar Al-Qur'an dan Sosok Pejuang Pendidikan Admin

Muhammad Nuh Al Hafiz atau Mbah Nuh Pageraji merupakan salah satu ulama NU kharismatik Banyumas yang berdomisili di Desa Pageraji, Cilongok. Beliau bersama Mbah Suyuthi  merupakan motor dakwah di Desa Pageraji dan sekitarnya. Berkat kontribusi Mbah Nuh dan Mbah Suyuthi, kini, Pageraji dan sekitarnya dikenal sebagai salah satu basis keislaman ‘ala ahl as-sunnah wa al-jamaah Al Nahdlyiyyahh di Kecamatan Cilongok.

Mbah Nuh memang telah wafat tiga dekade yang lalu, namun kharismanya tidak pernah luntur. Makamnya mejadi salah satu destinasi wajib bagi peziarah yang ingin menziarahi ulama-ulama keramat Banyumas. Haulnya -diadakan setiap tanggal 11 Dzulhijjah- selalu ramai dihadiri pengunjung yang ingin mendoakannya serta ngalap barokah dari ulama yang selama hidupnya terkenal sebagai pakar Al Quran dan Ilmu Hikmah tersebut.

Kelahiran

Muhammad Nuh lahir di Mekkah pada tahun 1900. Ia lahir saat kedua orang tuanya menunaikan ibadah haji. Muhammad Nuh merupakan putra ke-7 dari pasangan KH Abdurrohim dan Nyai Hj Jamilah. KH Abdurrohim sendiri merupakan perintis Pondok Pesantren Nurul Islam Karangjati, Cilacap.

Rekam Jejak Akademis

Menginjak usia remaja, Muhammad Nuh berkembara untuk ngangsu kaweruh di beberapa pondok pesantren. Ia sempat mondok di Pondok Pesantren Tremas (Pacitan, Jawa Timur) selama empat tahun. Di sana, ia berguru kepada KH. Dimyathi, adik Syaikh Muhammad Mahfudz Attarmasi–salah satu imam Mekkah yang tersohor keilmuannya. Terdorong kecintaannya pada Al-Qur’an, Muhammad Nuh melanjutkan studinya ke Pondok Pesantren Krapyak (Yogyakarta).

Setelah ngaji selama empat tahun (1918-1922), ia berhasil mendapatkan sanad ilmu Al- Qur’an dari K.H. Munawwir Krapyak. Di sana, ia berkawan baik dengan salah satu pakar Al-Qur’an, K.H. Arwani Kudus. Nuh muda juga sempat  nyantri di Cirebon sebelum ia melanjutkan petualangan intelektualnya ke kota kelahirannya, Mekkah. Setelah menghabiskan waktu lima tahun di Tanah Suci, ia mudi untuk mengamalkan ilmu.

Meneruskan Perjuangan Ayahanda

Seperti yang telah disebut, Ayah Mbah Nuh adalah perintis Pondok Pesantren Nurul Islam Karangjati. KH Abdurrohim mulai merintis pesantren pada 1920. Awalnya, jumlah santri bisa dihitung dengan jari. Seiring berjalannya waktu, jumlah santri semakin banyak. Mereka tidak hanya berasal dari area Karangjati, namun juga daerah-daerah di luar Cilacap seperti Banyumas, Brebes, dan Kebumen.

Karena usia yang telah uzur, K.H. Abdurrohim mengamanatkan pucuk pimpinan pesantren yang diasuhnya kepda putra-putranya: K.H. Abdullah Mughni pada 1926 dan disusul oleh K.H. Muhammad Nuh pada 1930. Pada masa kepemimpinan Mbah Nuh dan K.H. Ismail, pondok pesantren ini berkembang cukup pesat. Pondok Nurul Iman memiliki asrama putra pada periode kepemimpinan dua bersaudara ini. Pada tahun 1936, delapan saudara Mbah Nuh pulang dari pengembaraan mencari ilmu. Ketersediaan tenaga pengajar yang cukup ini mendasari keputusan KH Abdurrohim untuk memerintahkan Mbah Nuh untuk berdakwah di daerah lain.

Babad Legok

Awalnya, Mbah Nuh dan istrinya, R.A. Sukapti ditawari untuk tinggal di daerah Bulakan, Desa Langgongsari, namun pada akhirnya ia memutuskan untuk tinggal di Dusun Legok, Desa Pageraji.

Baca Juga : Kenangan Kecil Tentang Kiai Minan Abdillah Kajen

Sesuai namanya yang berarti cekungan tanah, daerah yang dipilih Mbah Nuh ini memang lebih rendah dari daerah di sekitarnya, mirip seperti lembah. Grumbul Legok dikenal sebagai daerah yang angker, namun sangat strategis karena berada di tengah-tengah desa dan dekat dengan jalan raya.

Sebelum kedatangan Mbah Nuh ke Pageraji sebenarnya sudah ada H. Sayuthi (Pageraji bagian utara). Mbah Sayuthi menyambut hangat kedatangan Mbah Nuh. Bahkan, Mbah Nuh diberi sebidang tanah untuk didirikan mushola, rumah, dan pondokan.

Pada perjalanannya, Mbah Nuh dan Mbah Sayuthi menjadi duo yang kompak dalam dakwah keislaman di daerah Pageraji. Ada kesepakatan tak tertulis bahwa Mbah Nuh ngasta pengajian Al-Qur’an dan Mbah Sayuthi ngasta pengajian kitab kuning. Jasa mereka bisa dilihat sampai sekarang: Desa Pageraji pada khususnya, dan Kecamatan Cilongok pada umumnya, menjadi salah satu basis NU di Banyumas.

Dakwah dua ulama yang berafiliasi kepada NU tersebut juga didukung oleh letak geografis Kecamatan Cilongok yang dekat dengan pusat pergerakan NU di Jawa Tengah bagian barat, yaitu Kecamatan Sokaraja.

Mbah Nuh dan Pon. Pes. Darul Hikmah

Sejak memulai dakwahnya di tanah Legok pada 1936, Mbah Nuh mulai merintis Pondok Pesantren Darul Hikmah (PPDH). Pada masa awal berdirinya, santri yang datang untuk mengaji hanya sedikit, mereka datang dari Desa Pageraji dan sekitarnya. Lama-kelamaan jumlah santri semakin banyak. Jumlah santri mukim mencapai 50 orang.

Pada Bulan Ramadan, jumlah santri meningkat drastis. Santri putra bisa mencapai seribu orang, sementara santri putri bisa mencapai angka ratusan. Mereka datang dari pelbagai daerah seperti Cilacap, Purbalingga, Brebes, dan daerah sekitarnya. Puncak pertambahan jumlah santri terjadi pada periode 1975-1983.

Karamah Mbah Nuh

Mbah Nuh terkenal sebagai maestro dalam ilmu Al Qur’an dan Ilmu Hikmah. Setiap pengajian Al Qur’annya, ia tak segan-segan menjelaskan rahasia di balik ayat-ayat hikmah yang ditemui. Banyak cerita yang beredar dari mulut ke mulut  bahwa ia memiliki beberapa karamah: berjalan di atas sungai; masuk botol kaca yang kecil; menutupi PPDH dari padangan tentara kolonial Belanda; dll.

Penulis berkesempatan mengkonfirmasi cerita-cerita ini kepada salah satu putranya, KH. Mahbub Nuh. Putra Mbah Nuh yang satu ini tidak mengiyakan. Namun, ia membeberkan beberapa amalan berbasis ayat Al-Qur’an yang ia sebut mampu membuat seseorang panjang umur dan membuat musuh tak melihat kehadiran si pengamal. Amalan-amalan tersebut ia dapat langsung dari Mbah Nuh.

Ia bercerita bahwa dulu ada seorang santri Mbah Nuh yang sudah sangat sepuh namun belum kunjung meninggal meski sudah sakit-sakitan.  Ketika diselidiki, ternyata ia mengamalkan amalan yang diberikan Mbah Nuh. Amalan ini berupa membaca ayat-ayat Al-Qur’an tertentu pada waktu khusus. Santri Mbah Nuh ini, sangking rutinnya mengamalkan amalan ini, lupa bahwa amalan ini berfungsi sebagai media meminta panjang umur kepada Allah. Setelah berhenti mengamalkan amalan tersebut, murid Mbah Nuh, atas seizin Allah, meninggal.

Mbah Nuh dan Pendirian Sekolah Formal

Mbah Nuh tidak hanya vokal dalam mengelola pendidikan tradisional berupa pondok pesantren, tetapi juga pendirian sekolah modern. MI Ma’arif NU 1 Pageraji dan MTs Ma’arif NU 1 Cilongok adalah bukti monumentalnya. MI Ma’arif NU 1 Pageraji yang pada awalnya bernama Madrasah Wajib Belajar (MWB) berdiri pada 1955 atas prakarsa empat tokoh masyarakat Pageraji, salah satunya H. Makmur Nuh yang merupakan salah satu putra Mbah Nuh. Dewasa ini, madrasah yang terletak di Jalan Raya Pageraji No.10 tersebut menjadi salah sekolah tingkat dasar favorit di Kecamatan Cilongok.

Peran Mbah Nuh yang lebih kentara terasa dalam pendirian MTs Ma’arif NU 1 Cilongok. Ia menjadi salah satu inisiator berdirinya madrasah yang awalnya bernama PGA NU 6 Tahun tersebut. Tidak cukup di situ, Mbah Nuh juga ikut turun tangan menjadi tenaga pengajar sukarela di sekolah yang baru lahir. Beliau bersama KH Bajuri (Rejasari, Purwokerto) didapuk menjadi “pengajar luar biasa” pada tahun pertama berdirinya madrasah (1970).

Pada tahun 1999, MTs Manusaci, begitu sering kali MTs ini disebut, mengalami pemekaran. Kelas filial MTs Manusaci di Desa Panembangan yang ada sejak 1995, secara resmi, memisahkan diri dan menjadi MTs Ma’arif NU 2 Cilongok.

Keteladanan Mbah Nuh

Mbah Nuh adalah sosok yang zuhud dan rendah hati. Saat dihadiahi tanah yang kelak akan menjadi pondok, rumah, serta musalanya, ia sempat menolak lantaran takut akan adanya sengketa di kemudian hari.

Ia juga terkenal sangat anti dengan yang namanya jabatan. Pada suatu ketika, karena terkenal akan ketokohan dan kealimannya, ia sempat akan didapuk sebagai salah satu pimpinan Pengurus Cabang NU Banyumas. Namun, ia menolak untuk menerima jabatan tersebut. Begitupun ketika ia ditawari untuk menjadi pejabat di Majelis Ulama Indonesia (MUI) Banyumas, ia juga enggan mengambil jabatan tersebut. Meskipun menolak mendapat jabatan di NU, namun ia pribadi selalu berada di garda terdepan dalam dakwah NU. Kiprahnya pada bidang dakwah dan pendidikan tidak diragukan lagi dengan adanya PPDH, MWB, dan PGA.

Selain zuhud, Mbah Nuh yang juga terkenal jadug ini juga diketahui sangat dermawan. Ia gemar mengunjungi rumah wali santri dengan membawa buah tangan berupa gula merah. Ia juga tak lupa membawa buntalan kecil berisi uang untuk diberikan kepada anak kecil yang ia temui. Ketika bepergian ia juga tak segan memberi uang kepada pengemis.

Mbah Nuh juga dikenal sebagai seorang yang idealis dengan keilmuaannya. Walaupun tersohor sebagai ahli dalam seluk-beluk Al Qur’an, ia tak kersa ketika diminta menjadi juri perlombaan membaca Al Qur’an atau Musabaqah Tilawah Al-Qur’an (MTQ). Baginya, Membaca Al-Qur’an itu tidak untuk dilombakan. Keliru jika ada orang yang salah dalam membaca Al Qur’an justru membuat senang orang lain (peserta MTQ yang lain) karena membuat dia juara. Sebaliknya, salahnya seseorang dalam membaca Al Qur’an harus menjadi sebuah keprihatinan dan ia harus dibenarkan. Ia tegas memosisikan Al Qur’an sebagi sesuatu yang tidak boleh diperlombakan.

Berpulang ke Haribaan-Nya

KH. Muhammad Nuh wafat pada 17 Agustus 1986/11 Dzulhijjah 1407 pada usia 86 tahun. Jasad kyai kharismatik ini dikuburkan di area Pondok Pesantren Darul Hikmah, Gerumbul Legok, Desa Pageraji. Tampuk kepemimpinan dilanjutkan oleh KH. Ma’mur Nuh selama dua hingga tiga tahun, kemudian dilanjutkan oleh KH. Ma’tuf dan KH. Marhum.

Anak Mbah Nuh yang diketahui bertahan hidup berjumlah sepuluh. Uniknya, kesepuluh anak kyai khos ini memiliki inisial “M”, yaitu: Ma’mur, Ma’rifah, Mahsus, Mastur, Maslahah, Marfu’ah, Mahrus, Ma’tuf, Marchum, dan Mahbub.

Wallahu A’lam

Respon (1)

Tinggalkan Balasan