Fragmen

Ambil 25, Kembali 11

46
×

Ambil 25, Kembali 11

Sebarkan artikel ini

“SANTRI pondok ini ‘kudu kendel’ di bidang apapun,” begitu dhawuh almaghfurlah Abah
Kiai suatu saat usai pengajian kitab. Aku masih ingat itu dan terbukti yang beranilah,
yang berhasil menempuh jalan.

Itulah pesan yang paling membekas hingga sekarang. Di banding santri lainnya,
mungkin aku santri biasa yang tidak begitu sukses soal dunia. Belum sukses mungkin,
karena hingga kini aku harus gonta ganti dan banting setir menjalani berbagai profesi.
Namun demikian aku masih bersyukur, karena isteriku telah menjadi abdi negara.
Minimal satu beban telah selesai, apalagi profesi ini sudah jadi idam-idaman banyak
orang yang suka titik aman dan kemapanan.

Karena berani aku pun pernah menjalani jabatan organisasi pemuda bintang sembilan
tingkat kecamatan hingga menjadi pengurus komite pemuda tingkat kabupaten. Dari
organisasi inilah, akupun turut pula terlibat organisasi politik praktis. Dan keberanianku
kuuji sendiri dengan maju dalam kontestasi calon parlemen daerah.

Sayang, aku masih belum beruntung. Aku menyebutnya belum beruntung, untuk tidak
menyebut gagal. Meskipun faktanya adalah gagal. Alibiku, ini adalah bagian proses
untuk ‘njajal awak’. Betul juga kata orang, untuk menjadi wakil rakyat, tak hanya butuh
nyali saja dan kapasitas. Tak bisa dipungkiri kalau selain kapasitas, ‘isi tas’ juga turut
masih menjadi warna demokrasi langsung kita hari ini.

Aku berterimakasih sekali kepada kawan-kawanku yang setia membantuku dalam
bentuk apapun. Dari proses inilah, kita akan tahu siapa saja sebenarnya teman dan
sahabat sejati dalam arti sebenarnya, tepatnya pasca kegagalanku dalam kontestasi
politik ini. Ah sudahlah, bicara politik memang tidak ada habisnya.

“Apakah bisa cempe, anak kambing mengalahkan gogor, anak macan. Coba buktikan!”
kata seorang tetua suatu saat. Aku tersenyum mendengar itu, dan baru saja aku teringat
mimpiku soal bapak yang memelihara dua macan putih. Pertanda apakah ini? Ah
entahlah. Yang pasti usahaku dalam merintis jual beli gula kecil-kecilan sedang tersendat.
Tetapi memang dalam hidup kita harus berani apapun. Tentulah berani dengan
perhitungan.

***

Kalau dipikir perjalanan hidup adalah perjalanan keberanian. Keberanian untuk
melakukan kesalahan dan kekonyolan sekalipun. Karena dari itulah kita menemukan
pelajaran dan kenangan yang sulit terlupa.

Aku masih ingat Hari Ahad, aku, dan teman santri yaitu Khusni, Khayun dan Nanang
pernah ditakzir (dihukum) oleh sang kiai. Berbeda dengan para santri di pondok modern
yang semua fasilitas ditanggung, para santri di masa tahun 1990-an dan awal 2000-an
memang harus hidup prihatin.

Bagi santri dari keluarga biasa yang uang sakunya minim, makan dua kali sehari
sangatlah istimewa. Makanya ketika ada makanan bentuk dan rupa apapun kami
langsung saut dan ludes. Dan jangan katakan apapun kalau soal perut sudah bicara
apalagi menyanyi keroncongan.

Begitulah, ketika keusilan dan keroncongan perut telah bersanding, maka apapun bisa
terjadi. Niat usil inipun muncul ketika kegiatan ‘ro an’ bersih-bersih lingkungan pondok
dilaksanakan.

“Ni, Yun, jebule neng kene ana blumbang,” kataku pada Khusni dan Khayun setengah
berbisik sambil melirik sebuah kolam ikan di sisi selatan bawah lingkungan pondok.
“Betul Ngi, gedhe-gedhe juga lelenya,” ujar Khusni tersenyum sambil membersihkan
sampah dan rumput di sekitar kolam.

Setelah itulah, kami bertiga saling berpandangan, tersenyum dan mengangguk. Kami
seolah telah saling bicara dan sepakat dengan suatu rencana.
“Ya, Nanang diajak ya,” kataku kemudian.

Baca Juga : Kiai Nekat dengan Sebelas Santri

Usai pembicaran dalam kegiatan bersih-bersih lingkungan pondok itulah, akhirnya kami
mengatur rencana. Maka malam harinya aksi itu benar-benar kami lakukan bersama.
Singkat cerita kami pun berhasil mengail ikan-ikan lele milik Mbah Pondok. Ikan-ikan
yang rata-rata sebesar tiga jari ini membuat kami tersenyum dalam kegelapan.

Kamipun membuat tungku dadakan dari batu bata di samping kuburan dekat pondok.
Wajan penggorenganpun, minyak dan bumbupun telah kami bawa diam-diam dari
dapur pondok. Maka usai dibersihkan, ikan-ikan lele di kolam selatan bawah pondok itu
kami goreng bersama.

Usai prosesi penggorengan itu rampung, berbagai perkakas pun kami bersihkan.
Termasuk bekas tungku itupun langsung kita bersihkan. Kami memastikan tidak ada lagi
jejak prosesi pembersihan dan penggorengan lele tersebut.

Memasuki dapur pondok, kami mengambil nasi dan membawa nampan berisi lele
goreng ke ruang asrama kami.

“Ayo mangan enak, mangan enak. Jangan berisik,” kataku kepada para santri yang
sebagian dipaksa bangun. Sambil mengumpulkan nyawa, para santri lain terus bangun
dan dalam waktu sekejap senampan nasi dan senampan ikan lele goreng ilegal itu telah
tuntas tanpa siswa.

Kami berempat saling berpandangan, bersahutan bersendawa serta tersenyum lebar.
Kebahagiaan yang terperikan karena kami berhasil menaklukan kelaparan perut kami
dan para santri lain di bawah terang purnama. Dalam waktu sekejap habislah sudah lele
hasil pancingan ilegal itu. Kamipun tidur dengan lelap.

***

Pagi hari pasca kejadian itu, kondisi geososial politik pondok masih aman dan tentram.
Kamipun masih bisa ngaji dan melakukan aktivitas pondok dan kuliah sebagaimana
biasanya. Namun tak disangka, di hari kedua pasca kejadian itu, kami berempat
dipanggil sang abah.

“Ah, benarlah. Pasti ada yang melaporkan dan melihat kita mancing di kolam lele itu
kemarin,” kataku.

“Tidak ada lah, lha wong sudah mau tengah malam. Tidak ada yang berani menuju ke
kolam ikan itu. Apalagi kolam itu dikenal angker. Terus siapa juga yang malem-malem ke
kuburan. Aku pastikan aman,” jelas Khusni yang saat itu menjadi penjaga.

“Tapi buktinya, kita dipanggil Abah,” kata Nanang.
“Ya sudahlah, kita hadapi bersama saja. Barangkali bukan masalah kemarin,” kataku.
Maka kamipun menghadap ke ‘ndalem’. Karena merasa salah dari awal, kami berjalan
pelan dan setelah masuk ke dalam rumah pak kiai, kami lebih banyak menunduk.
Tak banyak bicara dan benarlah ternyata benar soal aksi pemancingan ilegal yang
dilakukan kami.

“Ya sudahlah. Jangan diulangi lagi. Sekarang ganti semua lele yang kalian ambil dan
langsung taruh ke kolam itu lagi,” begitulah dhawuh Abah singkat tak dapat bicara.
Namun kami benar-benar merasakan ketegasan dari sang kiai. Di hadapannya, sungguh
kami tak bisa lagi menahan rasa malu. Inilah mungkin rasa malu yang paling memalukan
sekaligus memilukan akibat kesalahan kami.

Setelah itulah kami langsung keluar dari ‘ndalem’. Tentunya dengan langkah gontai dan
seperti berat untuk melangkah. Malu memang sudah tak bisa lagi terukur. Menyesal
memang ada di belakang.

Memasuki area pondok, para santri lain berpandangan. Ada yang tersenyum, bisik-bisik
tetapi banyak juga yang diam saja. Apalagi mereka yang ternyata mengikuti pesta makan
lele malam hari kemarin.

Usai memasuki kamar pondok kami berempat lalu berembug. Kami akhirnya melihat ke
lemari dan celana yang masih tercantel sekaligus ada yang terserak di lingkungan
pondok. Kami kumpulkan uang kami untuk mengganti tepatnya membeli lele kembali
untuk dilepas di kolam yang kami pancing secara ilegal.

“Gantilah sesuai dengan jumlah yang kalian ambil,” begitu amanat dari sang kiai.
Uangpun terkumpul, dua di antara kami langsung ke pasar yang tak jauh dari pondok
kami. Di akhir bulan, uang saku kami memang menipis sehingga sesampai di pasar kami
hanya bisa membeli 11 ekor lele saja, itupun ukurannya kecil-kecil. Sementara kalau
boleh jujur, kami telah mengambil lele itu sebanyak 25 ekor, besar-besar pula. Tapi mau
bagaimana lagi.

Sesampai di pondok, kami langsung ke kolam selatan pondok. Puluhan pasang mata
santri seperti mengikuti langkah kami berempat yang menjadi tersangka. Kami lepaskan
11 ekor lele yang kami beli secara patungan. Berbuat bersama, menanggung bersama.
Alhamdulillah sudah beres, begitu pikir kami. Namun tak disangka esok paginya kami
mengalami situasi yang sama. Kami mencret bersama.

“Mungkinkah ini karena ampuhnya bacaan Hizb Nashr dari abah kiai,” ujarku yang
lunglai karena bolak balik ke kamar mandi.
“Ah entahlah, yang pasti aku tobat. Tobat pokoknya,” kata Nanang. Sementara Kusni
dan Khayun masih bolak-balik ke toilet.(Susanto-)

Tinggalkan Balasan